Saturday, August 18, 2012

Pertemuan Keduapuluh satu Zhihar

1. Defenisi Zhihar

Zhihar adalah suatu ungkapan suami yang menyatakan kepada isterinya “Bagiku kamu seperti punggung ibuku”, ketika ia hendak mengharamkan isterinya itu bagi dirinya.
Thalak seperti ini telah berlaku di kalangan orang-orang jahiliyah terdahulu. Lalu Allah Subhanahu wa Ta‘ala memerintahkan kepada suami yang menzhihar isterinya untuk membayar kafarat (denda) sehingga zhiharnya tersebut tidak sampai menjadi thalak. Kalimat zhihar ini pada awalnya berbunyi “Bagiku kamu seperti perut ibuku”. Mereka menggunakan kiasan punggung sebagai ganti perut, karena punggung merupakan tiang perut.
Di dalam kitab Ar-Raudhah disebutkan: “Bahwa zhihar adalah ucapan seorang suami kepada isterinya, ‘Bagiku kamu seperti punggung ibuku,’ atau ucapan-ucapan yang semisal dengannya. Karenanya, diwajibkan bagi suami tersebut sebelum mencampurinya untuk membayar kafarat yaitu memerdekakan budak. Jika tidak mendapatkan budak, maka ia harus memberikan makan kepada enam puluh orang miskin dan jika tidak mendapatkannya maka ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut.”

B. Disyari ‘atkannya kafarat Zhihar
Di antara tujuan disyari’atkannya kafarat adalah supaya pelaku zhihar tidak membiasakan perbuatan tersebut. Tujuan semacam ini tidak akan terwujud, kecuali dengan mewajibkan sesuatu yang berat, baik dalam bentuk pengeluaran materi (berupa pembayaran denda) atau dalam bentuk rasa lapar dan haus. Dalil yang melandasi hal itu adalah firman Alah SWT:
Orang-orang yang menzhihar isteri-isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib baginya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri tersebut bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kalian dan Allah Maha Mengetahui apa yang Kalian kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak~, maka ~‘wajib baginya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Dan barangsiapa yang tidak kuasa(wajib baginya) memberi makan enampuluh orang miskin. Demikianlah supaya kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.(QS. A1-Mujadilah: 3)
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menerangkanhal ini dalam kisah Salamah bin Shakhr, yaitu ketika ia menzhihar isterinya lalu ia menyetubuhinya:
Aku adalah laki-laki yang mempunyai hasrat kepada wanita tidak seperti orang lain. Ketika tiba bulan Ramadhan, aku pernah menzhihar isteriku (dengan niat) sampai usainya bulan Ramadhan. (Hal itu aku lakukan) karena aku khawatir, jika malamnya aku bersetubuh sedikit saja, maka akan terus aku lanj utkan sampai siang, padahal aku ini orang yang tidak mampu menahan hasrat. Pada suatu malam ketika isteriku melayaniku, tiba-tiba ia singkapkan kain yang menutupi sebagian dan tubuhnya kepadaku, maka aku pun melompatinya. Dan paginya akupun pergi menemui kaumku lalu aku beritahukan mengenai diriku kepada mereka. Aku men gajak mereka: ‘Ayolah pergi bersamaku menghadap Rasulullah, lalu beritahukan masalahku itu kepada beliau. ‘Tetapi mereka inenjawab:”Demi Allah, kami tidak mau. Kami khawatir jangan-jangan ada wahyu yang turun mengenai kita, atau Rasulullah mengatakan sesuatu mengenai diri kita hingga kita akan tercela selamanya. Tetapi pergilah kamu sendiri dan lakukanlah apa yang baik menurut kamu.‘Dan akupun langsung berangkat men ghadap Nabi Sallallahu Alaihi wa Sallam, aku ceritakan hal itu kepada beliau. Maka beliau pun bertanya: ‘Apakah benar kamu melakukan itu?’ ‘Ya, beginilah aku, ‘jawabku. ‘Maka berikanlah putusan kepadaku dengan hukum Allah Azza wa Jalla, aku aku tabah menghadapinya, ‘lanjutku. ‘Merdekakanlah seorang budak”,sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Mendengar itu aku pukulkan tanganku pada tengkukku, sembari berucap: ‘Tidak mungkin, demi Allah yang telah mengutus Anda membawa kebenaran, pagi ini hanyalah yang aku miliki. ‘Lalu beliau berkata: Kalau begitu, puasalah dua bulan berturut-turut. ‘Meneruskan ceritanya, Shakhr mengatakan : Aku pun berkata: ‘Ya Rasulullah, bukankah apa yang telah menimpaku ini tidak lain ketika aku sedang berpuasa?’ ‘Kalau begitu, bersedekahlah”. kata beliau. ‘Demi Allah yang telah mengutus Anda membawa kebenaran, semalam suntuk kami bersedih hati, karena malam tadi kami tidak makan, ‘lanjut Shakhr. Kemudian Rasullullah pun menasehatinya: ‘Pergilah kamu kepada siapa saja yang akan bersedekah dari Bani Zuraiq. Lalu katakan pada mereka supaya memberikannya kepadamu. Lalu dari sedekah itu berilah makan olehmu satu wasak (165 liter) tamar (kurma) kepada enam puluh orang miskin. Sedang lebihnya pergunakanlah untuk dirimu dan keluargamu. ‘Selanjutnya Shakhr mengatakan: ‘Akupun pulang kepada kaumku, dan aku katakan kepada mereka, bahwa aku melihat kesempitan dan pandangan yang picikpada din kalian. Tetapi dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam aku mendapatkan keleluasaan dan berkah Sungguh beliau telah menyuruhku mengambil sedekah dan kalian, maka bayarkanlah sedekah itu kepadaku.’ ‘Mereka pun kemudian memberi sedekah kepadaku tutur Shakhr mengakhiri ceritanya (HR Ahmad Abu Dawud, Tirmidzi Dan Al-Hakim)
Imam Tirmidzi menghasankan hadits ini Sedangkan Al-Hakim menshahihkan hadits ini.
C. Kapan Pembayaran Kafarat itu Diwajibkan?
Ijma’ ulama menyatakan, bahwa kafarat itü diwajibkan setelah suami yang mengucapkan zhihar menarik kembali ucapannya. Sebagaimana yang difirmankan Allah SWT:
“Kemudian mereka hendakmenanikkembali apa yang mere/ca ucapkan.” (Al-Mujadilah: 3)
Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat mengenai sebab diwajibkannya kafarat tersebut, apakah karena adanya penarikan ucapan itu atau zhihar itu sendiri. Mereka juga berbeda pendapat, apakah yang diharamkan bagi suami yang menzhihar isterinya itu cuma berhubungan badan saja atau termasukjuga cumbuan awal sebelum berhubungan badan. Mengenai masalah mi, jumhur ulama berpendapat, bahwa yang diharamkan itu termasuk juga rangsangan Sebelum hubungan badan. Hal ini didasarkan pada firman Allah Azza wa Jalla:
“Sebelum kedua suami isteri tersebut bercampur.“(Al-Mujadilah: 3)
Dan sebagian ulama berpendapat hanya pada hubungan badan saja, dimana mereka mengatakan ‘Karena Yatamassa dalam ayat tersebut sebagai kinayah (kiasan) dan jima’.” Di samping itu, para ulama juga berbeda pendapat mengenai pengertian “Al-‘Aud” (penarikan ucapan) itu sendiri. Qatadah, Said bin Jubair, Abu Hanifah dan para sahabatnya mengatakan: “Yang dimaksudkan dengan “Al-‘Aud” adalah keinginan untuk berhubungan badan yang telah diharamkan suami melalui zhiharnya. Karena, jika ia sudah berkeinginan menyetubuhi isterinya yang telah dizhiharnya, maka berarti ia telah kembali dan keinginan meninggalkan hubungan badan dengannya kepada keinginan untuk melakukannya, baik keinginan itu direalisasikan maupun tidak.”
“Yang dimaksudkan dengan Al-’Aud adalah hubungan badan yang dilakukan suami setelah menzhiharnya.” Demikian dikatakan Imam Syafi’i. Sedangkan Imam Malik dan Imam Ahmad mengatakan: “Al’Aud adalah keinginan berhubungan badan saja, meskipun tidak melakukannya.”
Perbedaan pendapat juga terjadi di sekitar masalah hubungan dilakukan oleh suami yang menzhihar isterinya sebelum membayar kaffarat.
Mengenai hal ini ada yang mengatakan diwajibkan atasnya, ada juga yang mengatakan tiga kafarat. Bahkan ada yang mengatakan kewajiban membayar kafarat. Namun demikian, jumhur ulama berpendapat bahwa yang diwajibkan adalah membayar satu kafarat. Dan itulah sebagaimana yang diterangkan dalarn dalil-dalil yang telah disebut
d. Hukum Suami yang Menzhihar Isterinya Kemudian Menyetubuhinya Sebelum Habis Waktu
Dalam kitab Al-Raudhah dikatakan Jika seorang suami yang menzihar lalu menyetubuhi isternya sebelum habis waktu atau sebelum membayar kafarat, maka ia harus menghentikannya sehingga membayar atau setelah habis waktu yang ditentukan Hal ini sesuai dengan hadits bahwa Rasulullah pernah menuturkan kepada orang yang menzhihir kemudian menyetubuhi isterinya:
“Janganlah kamu mendekatinya sehingga kamu mengerjakan apa yang diperintahkan Allah kepadamu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud Nasai dan Tirmidzi)
Hadits ini dishahihkan oleh Imam At-Tirmizy dan Al-Hakim.
e. Perbedaan Pendapat Mengenai Kekhususan Zhihar Jumhurul ulama berpendapat, bahwa zhihar itu hanya khusus dengan perkataan “ibu”, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dengan demikian, jika seorang suami mengatakan kepada isterinya, “Bagiku kamu seperti punggung ibuku, maka berarti ia telah menzhihar. Akan Tetapi, jika ia mengatakan kepadanya,”Bagiku kamu seperti punggung saudara perempuanku”, maka hal itu bukan sebagai zhihar. Sebagian dan ulama tersebut, yang di antaranya penganut madzhab Hanafi, Auza’i, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, dan Zaid bin Ali berpendapat, bahwa kata “ibu” dalam zhihar itu diqiyaskan kepada seluruh mahram.
Ketiga Imam dan sebuah riwayat dan Imam Abmad mengatakan apabila seorang suami mengatakan kepada msterinya,”Bagiku kamu punggung ibuku maka tidak ada kewajiban bagmnya membayar kafarat”. Dalam riwayat yang lain Imam Ahmad mengatakan: “Diwajibkan baginya membayar kafarat jika ma telah menyetubuhinya. Pendapat terakhir inilah yang menjadi pilihan Al-Kharaqi. Sedangkan suami yang mengatakan kepada isterinya,”Cintaku kepadamu seperti cintaku kepada saudara perempuanku atau ibuku dalam kecintaan,” maka hal itu bukan termasuk zhihar.
F. Bukan Zhihar Kecuali Jika Menyebutkan Wanita yang Menjadi~ rimnya
“Suami yang mengucapkan kalimat zhihar dengan menyebutkan wanita yang menjadi muhrimnya, maka hal itu termasuk zhihar,” ungkap Hasan Bashri, Atha’ mengatakan: “Suami yang menzhihar dengan menyebutkan wanita yang menjadi muhrimnya atau saudara perempuan sesusuan, maka kesemuanya itu seperti ibunya, dimana tidak diperbolehkan menyetubuhi isterinya sehingga ia mèmbayar kafarat. Apabila ia menzhihar dengan menyebutkan anak perempuan bibinya, maka hal itu bukan termasuk zhihar. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan salah satu dan ungkapan Imam Syafi’i.” Pada pendapat Imam Syafi’i yang lain dikemukakan: “Bahwa setiap orang yang menzhihar isterinya dengan menyebutkan wanita yang bukan muhrimnya sebagai ganti kata ibu, maka yang demikian itu bukan termasuk zhihar. Sedang apabila ia menyebutkan wanita yang menjadi muhrimnya, maka yang demikian itu sudah termasuk zihar”
“Suami yang menzhihar isterinya dengan menyebutkan wanita yang menjadi muhrimnya atau bukan muhrimnya atau seorang anak perempuan, maka yang demikian itu sudah termasuk zhihar.” Demikian yang menjadi pendapat Imam Malik.
Sekelompok ulama di antaranya Sufyan Tsauri dan Asy-Syafi’i mengatakan:
“Jika seorang suami menzhihar isterinya dengan menyebutkan kepala atau tangan ibunya, maka hal itu juga termasuk zhihar.”
Sedangkan menurut Abu Hanifah: “Jika seorang suami menzhihar isterinya dengan menyebutkan sesuatu yang ia tidak diperbolehkan melihatnya dan ibunya, maka hal itujuga termasuk zhihar. Dan apabila ia menzhihar dengan sesuatu yang dihalalkan baginya untuk melihat dan ibunya, maka hal itu bukan termasuk zhihar.”
G. Orang yang Diwajibkan Membayar kafarat
Kewajiban membayar kaffarat itu tidak gugur dan seseorang hanya karena kematiannya atau kematian isterinya, tidak juga karena thalak darinya. Kafarat imi termasuk modal hartanya jika ia meninggal, baik mewasiatkan atau tidak. Karena, itu merupakan hutang kepada Allah SWT, yang harus lebih diutamakan daripada hutang kepada manusia. 




sumber

0 comments:

Post a Comment